
Pendakian kali ini terasa berbeda sejak awal. Kami mulai berjalan pukul 04.30 pagi, ketika Dieng berada di suhu 0 derajat. Udara dingin sampai menusuk tulang, napas terlihat mengepul, dan tubuh masih kaku karena baru saja meninggalkan kehangatan angin dataran tinggi. Tapi justru suasana seperti itu yang membuat langkah pertama terasa penuh tantangan dan kesadaran.
Semakin naik, tubuhku mulai terasa berat. Setiap langkah menjadi perlahan, dan mengatur napas rasanya jauh lebih sulit dari biasanya. Ada momen di mana aku tahu aku tidak mungkin bisa mengejar sunrise yang tinggal beberapa menit lagi. Perasaan kecewa sempat muncul, tapi aku belajar menerima bahwa tidak semua perjalanan berjalan sesuai rencana.
Yang paling membuat perjalanan ini berarti adalah teman-teman yang menemaniku. Mereka tidak terburu-buru, tidak memaksakan ritme cepat, dan tidak meninggalkanku demi mengejar sunrise. Mereka berhenti setiap aku berhenti, menunggu setiap kali napasku mulai tidak teratur, dan tetap berjalan bersamaku tanpa sedikit pun keluhan. Dari mereka aku belajar bahwa pendakian bukan hanya tentang puncak, tetapi tentang kebersamaan di setiap langkahnya.
Kami tiba di area Sunrise Camp saat matahari sudah cukup tinggi. Tidak ada langit jingga atau cahaya emas yang biasanya menjadi daya tarik Prau. Tapi pemandangannya tetap luas dan indah. Gunung Sindoro dan Sumbing terlihat jelas, langit biru cerah membentang tanpa hambatan, dan angin pagi berhembus lembut. Meski tanpa sunrise, suasana tenang di puncak tetap memberikan rasa syukur dan lega yang sulit dijelaskan.
Perjalanan turun terasa lebih ringan. Aku membawa pulang banyak hal selain rasa lelah: pelajaran untuk menerima ritme tubuh sendiri, rasa syukur atas teman-teman yang sabar dan tidak egois, serta kesadaran bahwa bergerak pelan pun tidak apa-apa selama terus maju. Pendakian ini mungkin tidak sempurna, tetapi justru di situlah keindahannya.