




Pendakian ke Gunung Bismo terasa seperti sebuah cerita yang sudah menunggu untuk dituliskan. Sejak awal, ada sesuatu di udara pagi Dieng dingin yang menusuk hingga tulang, tapi entah bagaimana justru membuatku merasa lebih hidup. Langkah pertama di jalur terasa ringan, seolah bumi sendiri sedang mempersilakan kami untuk masuk lebih dalam ke pelukannya.
Pemandangan di sepanjang jalur membuatku beberapa kali berhenti, bukan karena lelah, tapi karena terhipnotis. Gunung-gunung berdiri di kejauhan, berlapis seperti tirai yang baru dibuka perlahan. Awan bergerak pelan, dan matahari mulai menampakkan kilau emasnya di sela-sela langit yang biru. Ada momen-momen di mana aku hanya bisa menatap, membiarkan keheningan itu berbicara lebih keras daripada suara apa pun.
Aku mengajak adik laki-lakiku ikut dalam perjalanan ini, dan melihatnya berjalan di depanku dengan langkah mantap memberi perasaan yang sulit dijelaskan. Seakan aku sedang menyaksikan seseorang tumbuh, bukan hanya sebagai adik, tetapi sebagai pribadi yang sedang belajar menaklukkan dunianya sendiri. Ada sedikit bangga, sedikit haru, dan banyak sekali rasa syukur.
Trek Bismo tidak terlalu sulit, tapi tetap menantang. Anehnya, aku tidak merasakan lelah seperti biasanya. Justru ada dorongan dalam diri yang membuatku terus maju, semakin cepat, seperti sedang mengejar sesuatu yang tidak terlihat. Dan ketika akhirnya sampai di puncak, semua terasa berhenti sejenak.
Dari sana, Gunung Sindoro dan Sumbing tampak seperti raksasa yang menjaga langit. Angin dingin berhembus, membawa suara-suara yang entah dari mana. Aku berdiri, diam, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku merasa benar-benar kecil sekaligus penuh perasaan yang hanya bisa diberikan oleh alam.
Pendakian ini mungkin hanya beberapa jam, tapi rasanya seperti perjalanan yang membuka ruang baru di dalam diriku. Sebuah pengingat bahwa tidak semua keindahan harus ditemukan, beberapa justru datang ketika kita berani melangkah, meski dengan napas yang berat dan langkah yang ragu.